Senin, 07 Januari 2008

I SENANDUNG INDUSTRI DARI BUKIT HEXON

Udara Segar Dan Kopi Hangat

Hari itu, Selasa, 10 Oktober 2006. Desiran angin pegunungan menyiram aroma kesejukan di sekujur tubuh dan udara segar berhembus lembut menyapa dada. Suara mesin membelah kesunyian pagi. Peluh pun perlahan menyatu dengan lipatan helaian pakaian. Padahal kami masih berada dalam sebuah mobil yang sedang merangkak menuju Bukit Hexon di Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Tepat pukul 10.15 WITA, mobil yang ditumpangi dari Denpasar masuk perkampungan Tempek Lobong, sebuah dusun kecil yang dihuni 17 kk, terletak sekitar 1 km dari Bukit Hexon. Empat penumpangnya bergegas menjejak kaki di tanah dusun, seakan tak sabar menghirup sepuas-puasnya udara segar daerah pegunungan.

Beruntung. Saat itu, kami bisa bertemu dengan kepala kampung, Made Yasa (45) dan Gede Eddy Sukawiratha (27), pimpinan proyek pembangunan Bukit Hexon. Mereka sedang duduk di kursi panjang, depan Koperasi Wahyu Pertiwi Bukit Hexon. Kami disambut hangat. Terpatri penerimaan tulus warga desa yang masih menyimpan keramahan alamiah tanpa dibalut senyum artifisial kapitalistik.

Made Yasa selaku tuan rumah membentang karpet hijau di balai bengong berukuran 2 x 2 meter. Canda tawa dan saling bertanya soal kondisi perjalanan jadi menu awal percakapan. Maklum, kami sudah sering bertandang ke kampung Tempek Lobong. Tak lama berselang, tuan rumah menghidangkan kopi hangat. Kami menyeruput dengan penuh rasa terima kasih.

Kunjungan tim wartawan (tulis dan foto) yang dipimpin Beny Uleander dari Tabloid Otomotif MONTORKU dan dwi mingguan KORAN PAK OLES untuk merekam dan mendengar langsung kisah dari mulut Made Yasa dan Gede Edi soal sejarah awal Bukit Hexon, awal pembangunan fisik Bukit Hexon dan potret partisipasi masyarakat sekitar. Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara dentingan palu, ayunan pacul dan gesekan skop para pekerja di Bukit Hexon yang bisa dilihat dari Tempek Lobong. Secuil moment yang ikut memicu dan memacu keberanian kami untuk merangkum semua penuturan terkait satu tahun pembangunan Bukit Hexon sebagai garden track dan kawasan agrowisata di Bali Utara.

Bukit Sandeh Milik Pan Sringin

Perguliran waktu adalah parade sejarah kehidupan dengan penggalan episode seputar kisah kehidupan, ihwal awal sebuah perkampungan dan riwayat sebuah tempat. Nama asli Bukit Hexon adalah Bukit Sandeh, sebuah bukit hijau di ketinggian 1320 meter dari permukaan laut (dpl), 60 km dari Denpasar atau dapat ditempuh dengan kendaraan 1 jam, 15 menit dari Kota Denpasar. Keindahan Bukit Sandeh terkurung di antara air terjun Yeh Mampeh, 3 km di sebelah timur yang belum dikembangkan dan Pura Puncak Mangu di sebelah selatan.

Bagaikan dua tetangga, Bukit Sandeh berbatasan dengan hutan lindung (sebelah selatan) yang oleh warga setempat lebih dikenal dengan sebutan hutan Alas Gege. Bagi warga sekitar, Alas Gege inilah adalah oase. Dari hutan yang didominasi tumbuhan cemara pandak, cemara geseng, kopi jenis arabika dan markisa itu mengalir mata air berlimpah. Di timur Bukit Sandeh menjulang sebuah bukit kecil bernama Bukit Jambul. Bukit Hexon berpotensi menjadi areal agrowisata pertama di Kabupaten Buleleng bahkan propinsi Bali. Di sekitar kawasan Bukit Hexon ada sumber air panas, jalur veteran (pejuang) dari arah Kintamani sekitar 10 km, jalur tembus menuju Danau Buyan dan ada potensi tracking hutan belantara.

Bukit seluas 8 hektar itu awalnya milik Pan Sringin, warga desa setempat. Ia menjual kepada Pak Edi, seorang keturunan Cina asal Singaraja untuk ditanami tumbuhan kopi jenis arabika. Pada tahun 1997, Bukit Sandeh dibeli Gede Sandi, pensiunan PNS untuk dijadikan areal peternakan sapi Bali. Letaknya memang terpencil dan sangat cocok untuk kegiatan peternakan. Tanahnya yang subur bisa ditanami berbagai jenis rumput atau pakan ternak. Gede Sandi mendirikan sebuah kandang sapi yang masih berdiri tegak hingga kini. Pada November 2006, Gede Sandi menjual Bukit Sandeh kepada perintis pertanian organik berbasis Teknologi Effective Microorganisms (EM) di Indonesia, Gede Ngurah Wididana alias Pak Oles.

Nama Hexon Dan Ide Gila

Bukit Sandeh pun berganti nama menjadi Bukit Hexon. Penamaan seiring dengan penemuan produk teranyar PT Pak Oles and Biotor Technology dalam bidang otomotif, HEXON (Herbal Antioxidant), Vitamin Oli Mesin. Tekad Pak Oles membangun Bukit Hexon yang terletak di daerah terpencil di Desa Lemukih, Sawan, Buleleng sejak November 2005 silam sebagai daerah agrowisata dan garden track, lahir dari sepercik impian motivasi yang berbasis Membangun Desa, Membangun Bangsa. "Seorang pengusaha yang tidak memiliki visi pemberdayaan masyarakat pedesaan tidak akan berani berinvestasi di daerah terpencil," ujarnya.

Di atas lahan seluas 8 hektar itu, Pak Oles ingin menanam berbagai jenis tanaman potensial yang dikandung dalam perut bumi daerah tersebut seperti markisa, strawbery, asparagus, wortel dan kentang dengan menerapkan pertanian organik berbasis teknologi EM yang ramah lingkungan. Masyarakat sekitar pun diberdayakan untuk mempelajari pertanian organik 'modern' dan mereka dilibatkan dalam pengembangan pertanian berskala industri.

Pak Oles melihat, ke depan bisa ada usaha produk turunan yang bisa dikembangkan. Sebuah misi mulia yang bermodal nekad. Tidak heran, banyak kalangan yang menyebut ide menyulap bukit tersebut sebagai sebuah Ide Gila yang digelontor seorang Pak Oles. Ide Gila itu juga sempat menghantui pikiran banyak karyawan terutama soal dana yang harus dipasok untuk mensuport pelbagai aktivitas pembangunan Bukit Hexon.

Sebutan Ide Gila itu ada benarnya, bila merunut pada lalu lintas pengalaman dan pemikiran tentang seputar hari kemarin dan hari ini. Namun jauh lebih benar lagi, kala Ide-Ide Gila itu ditempatkan pada rajutan pembangunan di bentangan litani hari esok. Itulah mental sejati seorang pemikir, peneliti, pengusaha dan investor yang visioner. Jadi, benar adanya bila hidup hari ini karena ada hidup dan kehidupan pada hari kemarin, dan hidup hari esok karena sudah ada hidup dan kehidupan yang dititi sejak hari ini.

Pada jagat refrektif demikian, bisa tersemai ragam pertanyaan dari siapapun, dari manapun, di manapun dan kapanpun. Namun bagi Pak Oles, pertanyaan terpenting adalah bukan soal dari mana uang untuk membangun Bukit Hexon, tetapi produk apa yang harus lahir dari dinding-dinding Bukit Hexon.

Jika pemberdayaan masyarakat ini berjalan, maka dengan sendirinya potensi daerah lain akan tumbuh, termasuk pengembangan potensi agrowisata. "Selama masyarakat tidak diberdayakan dalam aksi-aksi pembangunan nyata, jelas tidak akan ada kemajuan di suatu daerah terpencil termasuk roda industri dan pariwisatanya," tegas pria yang gemar membaca ini.

Agropolitan Praksis ala Pak Oles

Secara reflektif, ada sebuah guratan obsesi Pak Oles untuk membangun sebuah bukit di daerah terpencil dengan masyarakatnya yang lugu, miskin dan terbelakang dalam akses informasi sebagai tantangan spesifik memahat implementasi visi Membangun Desa, Membangun Bangsa.

Salah satu akar keterpurukan pembangunan di Indonesia dalam perspektif penemu Minyak Oles Bokashi ini adalah minimnya metode pengelolaan ruang kawasan sentra produksi pangan nasional dan daerah (agropolitan). Hal ini terkait erat dengan ketidakseriusan manusia Indonesia dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada, khususnya pengembangan pertanian mikro menuju pertanian makro di desa.

Agropolitan, diartikan sebagai upaya pengembangan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena sistem dan usaha agribisnis yang berjalan. Tentu berbias pada pelayanan dan dorongan terhadap berbagai kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Sebagai pengusaha swasta yang bergerak di bidang industri pertanian, pengolahan limbah dan kesehatan, pria kelahiran Buleleng, 45 tahun silam itu memendam obsesi pemberdayaan masyarakat pedesaan yang jauh dari sentuhan program pembangunan maupun akses informasi.

Apalagi di berbagai desa di Bali, masih ditemukan banyak lahan produktif yang tidak diolah untuk berbagai kegiatan berbasis pertanian. Hal ini terjadi karena masyarakat masih menerapkan pola pertanian tradisional dan pemerintah daerah "kurang" memiliki visi membangun sentra pertanian menuju praksis kegiatan agribisnis, agroindustri dan agrowisata.

11 November "Kelabu" (Kerja Libas Batu)

Terhitung sejak tanggal 11 November 2005, pembangunan sarana vital dilaksanakan. Pembukaan jalan menuju Bukit Hexon oleh 50 orang tenaga produktif asal Dusun Tempek Lobong dan Munduk Tajun. Dengan gaji harian Rp 20 ribu, sejak pukul 08.00 - 16.00 WITA, mereka menggaruk dan meratakan tanah jalan menuju Bukit Hexon. Ada teriakan aba-aba. "Siap-siap... Satu...dua...tiga..." Para pekerja itu lantas sukses menggulingkan batu seberat 30-40 ton ke jurang diiringi tepuk tangan berlepotan lumpur. Itulah koleksi kenangan pembukaan akses jalan menuju Bukit Hexon yang penuh timbunan batu diselesaikan selama 1,5 bulan.

Suatu prestasi yang luar biasa. Tanpa bantuan alat berat, mereka melibas bebatuan granit pegunungan seberat 100 kg hingga 1 ton. Kerja keras dan disiplin tinggi itu berbekal tangan kosong dan 25 pahat besi (betel). "Kami masih ingat 25 betel itu hancur dan sekarang sudah tidak bisa dipakai lagi," kenang Made Yasa.

Pengalaman mengerikan pun menghampiri Made Yasa. Ia nyaris tertimpa gelondongan batu seberat 1 ton saat bekerja di pangkung (kali mati). Sejengkal saja, batu besar yang berasal dari tebing itu hampir menggilas tubuhnya. Namun Yasa selamat, meski sedikit mengalami shock. "Saat itu saya tak mendengar suara batu menggelinding. Setelah batu itu melewati wajah saya dan jatuh ke jurang, saya masih sempat tertawa. Setelahnya baru saya gemetar ketakutan bahwa saya hampir kehilangan nyawa," ungkap Yasa yang di-ia-kan saksi mata, Gede Eddy Sukawiratha. "Kami bersyukur masih dilindungi Tuhan," ujar Eddy.

Dari kondisi awal jalan setapak selebar 1 meter, terbentanglah jalan utama sepanjang 1 km yang membelah areal perbukitan dengan lebar jalan 3 m. Selokan di bagian tepi melengkapi kondisi fisik jalan baru guna menghindari genangan air pada badan jalan dan bahaya erosi jika musim hujan tiba. Dengan struktur tanah padat, ditunjang lapisan batu gunung yang keras, ruas jalan kini sudah leluasa dilalui kendaraan. Patut dicatat, kendaraan pertama yang masuk ke Bukti Hexon adalah Jeep (CJ7) yang disetir Yunus Sugianto, Kepala Mekanik Bengkel Pak Oles saat menyambut matahari, 1 Januari 2006 di puncak Bukit Hexon.

Air Mengalir Ke Tempat Yang Rendah

Keseriusan Pak Oles menggarap Bukit Hexon berbuah senandung harapan tentang industri kerakyatan dari dan di desa. Harapan tersebut membuncah di dada warga Desa Pegadungan, Sukasada, Buleleng ketika Pak Oles membentuk tim ekspedisi kecil yang melakukan survey dan eksplorasi sumber mata air yang berasal dari Alas Gege, sebuah hutan lindung di selatan Bukit Hexon. Air sebagai prasyarat utama memulai sebuah usaha apa saja. Berbekal teknologi alam ''air mengalir ke tempat yang rendah'', tim survey bersorak gembira karena lokasi mata air lebih tinggi dari Bukit Hexon. Sebuah keberuntungan dan berkah yang tak terduga.

Selanjutnya, warga setempat dilibatkan dalam pembuatan saluran air untuk kebutuhan Bukit Hexon dan warga sekitar. Saluran air sepanjang 1,6 km tersebut menghabiskan 400 batang pipa berukuran 1,5 dim dan 200 batang pipa berukuran 1 dim. Suplai listrik didapat dari Banjar Mertasari sejauh 1 km.

Itulah kilas balik pembangunan fisik di Bukit Hexon yang lahir dari rahim idealisme merajut pembangunan dari dan di desa merambah kota. Visi yang dipertaruhkan Pak Oles sangat elegan. Mata rantai industri harus dibangun di dan dari desa-desa, bukan di dan dari kota ke kota-kota berikutnya. Prof Dr Marwah Daud, pernah menilai konsep pembangunan yang dilakukan Pak Oles merupakan langkah brilian di tengah lalu lintas wacana dan teori pembangunan ekonomi kerakyatan. Kebenaran dan ketangguhan sebuah visi siap diuji dalam perjalanan waktu. Bukit Hexon pun menjadi salah satu mosaik semboyan Membangun Desa, Membangun Bangsa.

II KAWASAN YANG MENGALIR MATA AIR HARAPAN

Tiap 3 Bulan Panen Markisa Rp 50 Juta

Sesuai catatan dari sertifikat tanah, secara administratif, Bukit Hexon masuk dalam wilayah Desa Lemukih, Kecamatan Sawan. Namun bagi masyarakat di dusun Tempek Lobong, Pegadungan, Bukit Hexon masih dalam wilayah Kecamatan Sukasada berdasarkan tapal batas. Di kaki Bukit Hexon terdapat Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari.

Nama Dusun Tempek Lobong tidak dapat dilepas-pisahkan dari eksistensi Bukit Hexon. Ibarat pintu gerbang, Tempek Lobong adalah pintu masuk menuju Bukit Hexon. Selain itu, kehidupan warga 17 KK setempat sudah menyatu dengan Bukit Hexon yang dulu bernama Bukit Sandeh.

Bagi warga sekitar, Bukit Sandeh, Alas Gege dan Bukit Jambul adalah tulang punggung perekonomian mereka. Setiap tiga bulan sekali, tutur Made Yasa, Kadus Tempek Lobong, warga sekitar masuk hutan lindung Alas Gege untuk mengumpulkan buah markisa yang tumbuh lebat dan liar. Untuk sekali musim panen, mereka bisa mendulang rejeki nomplok Rp 50 juta sampai Rp 60 juta. Setiap hari, sekitar 50 sampai 60 orang dari Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari masuk hutan Alas Gege, dan keluar dengan dua karung buah markisa per orang.

Buah markisa menjadi sumber pendapatan mereka selama bertahun-tahun. Menyaksikan keseharian hidup warga sekitar Bukit Hexon menyisakan potret miring kehidupan masyarakat pedesaan yang kurang mendapat sentuhan program pembangunan, akses informasi dan metode pertanian tepat guna. "Kami jarang mendapat kunjungan dari pemerintah atau dinas pertanian. Padahal masyarakat di sini sangat membutuhkan penyuluhan pertanian yang tepat," ungkap Gede Eddy Sukawiratha (27).

Memang, penghuni kaki Bukit Hexon umumnya warga pendatang. "Tidak ada penduduk asli Tempek Lobong. Kami semua pendatang di sini," ujar Made Yasa. Mereka bercocok tanam dengan menanam ubi, jagung dan tanaman kopi arabika. Kini mereka mulai belajar menanam tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti strawberry, seledri, bawang prei dan wortel karena cocok dengan kondisi tanah.

Kondisi perekonomian yang sulit, kerap menggoda warga sekitar melakukan pembalakkan liar kayu hutan. "Sekarang sudah kurang, karena mereka sudah ada penghasilan dari proyek Bukit Hexon. Kalau dulu banyak sekali yang masuk hutan mencuri kayu. Mereka sulit cari uang," papar Yasa.

Beli Beras, Bayar Transport Rp 20 Ribu

Kerja keras secara swadaya membuka jalan, itulah perjuangan warga Dusun Tempek Lobong. Mereka bergotong-royong membuka akses jalan dari Mertasari menuju Tempek Lobong. Batu-batuan dikumpulkan dari daerah sekitar. Perjuangan keras mereka untuk membuka jalan akhirnya mendapat bantuan kucuran dana PPK pada tahun 2000 sebesar Rp 48 juta. "Kami bisa membeli pasir dan semen agar jalan itu bisa dilalui sepeda motor," ungkap Yasa. Selain dari PPK, mereka juga mendapat bantuan dana Rp 10 juta dari Pak Gede Sandi, pemilik Bukit Hexon (dulu Bukit Sandeh) yang kala itu ingin mengembang-biakkan 48 ekor sapi Bali.

Meski akses jalan sudah terbuka, tapi warga setempat masih terjerat biaya yang sangat tinggi. Untuk membeli beras (Rp 4.000/kg) di pasar Pancasari, mereka harus membayar ojek Rp 20 ribu. Mereka juga berjuang mengembangkan kehidupan berkesenian di desa dan pelestarian budaya dengan membentuk kelompok seni musik Sekehe Gong Suling. Kini mereka banyak berharap dengan berseminya industri biotor dan agrowisata yang dikembangkan Pak Oles di Bukit Hexon, setidaknya membawa perubahan dalam hal kesejahteraan. Mata air harapan itu mulai mengalir dari visi pembangunan Bukit Hexon!!!

III KOPERASI WAHYU PERTIWI BERDANDAN POLOS

Pemberdayaan Bukan Impian Kosong

David Morley, kelahiran Amerika 1958, tercatat sebagai pria yang sukses memasarkan berbagai produk mobil. Kunci kesuksesannya ada dalam upaya tiada henti membangun dan menata impian demi impian. Impiannya, hari ini ketegaran hati konsumen luluh oleh presentasinya yang sederhana namun meyakinkan. Besoknya, lagi diimpikan ada ketokan subuh di pintu rumahnya. Siapa lagi kalau bukan konsumen yang tergesa-gesa ingin membeli produknya. Lusa, ada tantangan yang akan mematangkan impiannya. Begitulah seterusnya, impian itu dihidupi dan tentu saja diberi 'injeksi' harapan.

Di belahan bumi lain, di abad ini, hadir Gede Ngurah Wididana alias Pak Oles yang meretas konsep pemberdayaan ekonomi di tanah kelahirannya. Lalu merambah desa lain dan perlahan melintasi kabupaten dan propinsi. Ia melihat, berbagai ideologi dan mazhab besar seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan terakhir kapitalisme mulai kehilangan daya sapa dan para pengikutnya karena tidak membawa KESEJAHTERAAN.

Justru sekarang ideologi yang akan diikuti masyarakat dunia adalah ideologi kesejahteraan. Bagaimana menerjemahkan ideologi tersebut dalam praktik nyata bukanlah perkara berat bagi seorang Pak Oles. Impiannya sangat sederhana sebagai seorang anak desa. Pembangunan harus dimulai dari desa. Jika SDM masyarakat pedesaan memiliki kualitas kompetitif, maka dengan sendirinya kota akan maju dan bangsa berkembang jaya. Sebaliknya, pembangunan industri di kota-kota besar disertai arus urbanisasi justru hanya memindahkan kemiskinan dari desa ke kota.

Di Bukit Hexon yang terpencil, pria kelahiran Singaraja, 9 Agustus 1961 mendukung penyempurnaan daur ekonomi masyarakat setempat lewat kegiatan berkoperasi. Koperasi di desa tidak lain adalah sokoguru perekonomian rakyat desa. Eddy Sukawiratha memelopori terbentuknya Koperasi Wahyu Pertiwi Bukit Hexon. "Hal mendasar yang mendorong saya untuk merintis koperasi ini untuk menjaga siklus perputaran uang," jelas alumnus jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya tahun 2003 ini. "Untuk beli beras saja, warga harus naik ojek ke pasar Pancasari dengan ongkos dua puluh ribu PP. Kenapa tidak kita akomodir saja semua kebutuhan mereka?" tegas pria asal Desa Bebetin Kecamatan Sawan ini.

Koperasi konsumsi yang berdiri tanggal 19 Maret 2006 tersebut kini beranggotakan 37 orang dan sedang berkantor di rumah Ketua Dusun Tempek Lobong, Made Yasa. Modal simpanan pokok didapat dari iuran anggota Rp 100 ribu per orang. Sembako sebagai kebutuhan pokok masyarakat sudah tersedia, termasuk produk Ramuan Pak Oles. Masyarakat pun menyambut gembira atas berdirinya koperasi. "Sekarang kalau mau belanja tidak perlu jauh-jauh. Kan bisa menghemat biaya transport," ujar Yasa yang sudah dikaruniai 4 orang anak itu.

Investor Dari Perancis Pilih Mundur

Sosok Gede Sandi, pensiunan PNS akan dikenang masyarakat Tempek Lobong dan sekitarnya sebagai sosok perintis usaha pertanian dan peternakan di daerah mereka yang terpencil. Pada tahun 1997, ia membeli kawasan Bukit Hexon (kala itu Bukit Sandeh) seluas 11 hektar dari seorang pengusaha Cina yang bernama Pak Edi. Bukit Sandeh kala itu ditumbuhi beberapa pohon kopi dan tanaman markisa. Selebihnya adalah semak belukar, sama sekali tidak terurus. Ia melihat ada potensi dan prospek agrowisata yang bisa dikembangkan. "Untuk itu saya mengundang tenaga survei dari Perancis lewat konsulat yang ada di Jakarta. Survei dan pemetaan dilakukan selama 15 hari. Saya teringat waktu itu, setiap lima meter dipatok, dibawa komando team survei dari Jakarta. Tujuannya untuk membangun beberapa villa, taman rekreasi, industri kecil, peternakan, pertanian dan sebagainya," tuturnya.

Awal ketertarikan Gede Sandi berinvestasi di daerah terpencil karena terpikat menyaksikan kehidupan masyarakatnya yang lugu, polos, tidak ada kepalsuan sama sekali. Mereka tekun bekerja secara tradisional, hanya sebagai penggarap ladang, pengumpul kayu hutan. Penghasilnya sangat rendah, sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "Kondisi ini mendorong saya untuk mengolah, memberdayakan Bukit Sandeh agar lebih produktif. Saya ingin memberdayakan masyarakat yang ada di sana. Bersama dengan Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) yang hendak membuka jalan baru, tetapi tidak tembus, masih ada sekitar 400 meter. Sisanya ini saya keluarkan uang pribadi dan bersama masyarakat membuka jalan secara swadaya.

Pada tahun 2005, ia menjaul 8 ha kepada Pak Oles, sisanya 3 ha dikelola untuk kegiatan pertanian. Bukan ceritera kebetulan, Gede Sandi bertemu Pak Oles. Ada kisah panjang yang coba dituturkan Gede Sandi. Awalnya, ia bekerja sama dengan investor dari Perancis untuk membangun vila agrowisata. Ketika kondisi politik dan ekonomi dalam negeri mengalami guncangan luar biasa pada tahun 1997, investor asing itu mundur.

Niat Gede Sandi pun terbentur modal untuk mengolah proyek besar tersebut. Terbersit dalam pikirannya untuk menawarkan pengolahan ini kepada investor lokal. Salah satunya adalah Pak Oles. "Saya mengenal Pak Oles dari berbagai media massa, ceramah-ceramahnya, saya juga membaca buku-buku yang ditulisnya. Walau belum kenal secara akrab, tetapi saya berkeyakinan bahwa visi dan misi Pak Oles sangat cocok dengan apa yang saya idam-idamkan selama ini. Saya berdoa memohon petunjuk dari Yang Di Atas. Hingga satu malam, saya bermimpi bertemu dengan tiga orang bhiksu di Bukit Hexon, dengan pakaian merah, kuning, biru. Salah satu di antara mereka sempat tertawa dengan saya. Mungkin bhiksu yang tertawa itu adalah Pak Oles ha...ha...ha...," ujarnya bersemangat.

Hatinya dibalut kegembiraan tak terkirakan saat Pak Oles bersedia berinvestasi di Bukit Hexon. Apalagi di mata Gede Sandi, Pak Oles populer di Bali dengan visi pembangunan ekonomi dan industri dari desa. Itu berarti pembangunan Bukit Hexon adalah pembangunan yang sangat tepat sasar. Ekonomi di desa meningkat, SDM masyarakat terus diperbaiki, pendapatan masyarakat di desa terus meningkat, daerah isolasi dibuka, masyarakat diberdayakan, budaya, tradisi, kesenian dilestarikan. Ujungnya, kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama. "Tidak salah kalau saya membawa Pak Oles ke naik bukit bersama rakyat di desa. Sekarang, itu semua sedang berjalan. Masyarakat dilibatkan secara aktif bahkan menjadi karyawan tetap pembangunan Bukit Hexon sambil terus menjalankan aktifitas rutin hariannya. Pertanian dan ladang diolah berbasiskan teknologi Efective Microorganisms. Koperasi karyawan dibentuk dengan nama Wahyu Pertiwi. Kesenian tradisional dihidupkan. Sampai kapanpun saya tetap berada di belakang Pak Oles dalam membangun Bukit Hexon," tegas Sandi dengan nada terharu.

Retas Konsep Pembangunan Antiproposal

Potret kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia nampaknya terus menampilkan panorama yang kian tak berubah dari peluncuran program demi program bermerek dagang kemiskinan. Kian terpuruk wajahnya pasca krisis multidimensi yang melanda Indonesia bahkan sebelum terjadinya krisis ekonomi sejak 1997. Di balik realita-realita kemiskinan yang terkesan terus tercecer, keseriusan pemerintah pun tampak ke permukaan global, masih kalah ngetop untuk meretas realita yang menghimpit setiap anak negeri yang hidup di kolong langit bumi Katulistiwa.

Sebagai sampel, kita semua bisa beranjak dari data hasil rangkuman penelitian dari Kantor Statistik Nasional tahun 1996 dan 1999. Disebutkan, secara matematis, prosentase kelompok yang dianggap miskin kronis, --rumah tangga yang akan dianggap tetap miskin selamanya-- bertambah (bukan berkurang dan berkurang) dari 20% hingga 35%. Proporsi kelompok ini dikategorikan sangat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi (high vulnerability) hingga miskin berlipat dari 6,8% menjadi 18,4%. Diperkirakan, total rumah tangga Indonesia yang akan tetap miskin di masa datang dapat melonjak dari 16,4% menjadi 27,2%. Inilah realita, sekalipun masih bisa dipercayai sebagai sebuah penelitian tercecer, tidak menyeluruh atau menasional.

Juga realita lain yang ''meng-ada'' atas nama kemiskinan, justru tak terbilang jumlahnya. Tentu semua kita belum mau merasa bosan-bosan tentang beragam program, bila enggan mengatakan proyek tentang pengentasan kemiskinan. Hampir setiap tahun, tetap saja ada program mementingkan pengentasan kemiskinan di Indonesia, tetapi seakan tidak pernah ditemukan adanya perbedaan mengemas program-program kemiskinan tersebut.

Pembangunan Bukit Hexon dan pemberdayaan potensi warga sekitar di mata Pak Oles bukan karena dirinya selaku pengusaha memiliki cadangan dana investasi. Tetapi visi mengikis kemiskinan dengan program pemberdayaan yang tepat. Secara santun, kapan kemiskinan bisa berlalu dari tanah tumpah darah tercinta ini? Bila belum ada jawaban yang serius dan praktis, maka benar bahwa definisi yang digariskan pemerintah terkait kemiskinan didasarkan pada indikator-indikator realitas kaum-kaum latah yang miskin secara fisik yakni dilihat dari lensa teknokrat dan utilitarian. Karenanya, didefinisikan dengan indikator-indikator yang tidak mencukupi. Buktinya, jenis tembok rumah atau lantai sebagai salah satu indikator dimaksud.

Harus diakui, indikator kemiskinan seperti itu, bisa diperoleh melalui transaksi jual beli di toko, super market, kios-kios bangunan di sekitar kita. Karena semua bahan bisa dibeli. Benarlah pernyataan Pak Oles bahwa petani di Indonesia tetap menjadi mahluk yang sangat lemah daya saingnya, tertindas, terbelakang dan tetap termiskin. Bahkan anak-anak petani tidak sudi lagi menjadi petani karena masa depan yang suram, kotor dan miskin.

Di lain pihak, para pejabat dan pengambil keputusan, masih menganggap dirinya sebagai dewa penyelamat petani. Mereka mencoba selamatkan nasib petani melalui bantuan dan proyek, untuk meningkatkan taraf hidup petani. Bantuan dan proyek terus mengalir setiap tahun atas nama petani dan kesejahteraan, tetapi petani tetap saja miskin. Sebaliknya pejabat dan konsultannya semakin makmur.

Tentu proyek itu tidak ingin diselesaikan segera. Artinya, KEMISKINAN petani dapat dijual dengan harga tinggi, MENJADI PROYEK-PROYEK bahkan proyek TAK BERKESUDAHAN per tahun anggaran. Ada semacam program pembudayaan kemiskinan. Kini impian Pak Oles, pembangunan Bukit Hexon sebagai areal agrowisata dan garden track untuk wisata otomotif berdampak langsung bagi peningkatan pendapatan warga dan mengepulnya asap dapur di sela-sela pucuk pepohonan Bukit Hexon.

IV SELEBRASI ADRENALIN DI TAMAN ESKTREM OTOMOTIF

Rossi Gaet Wisman Buat Malaysia

Menapak milenium 21, helatan akbar event otomotif menjadi magnet hiburan dan pusat perhatian 6,5 miliar penduduk dunia. Ada perubahan trend minat masyarakat modern yang berpindah dari gemuruh riuh rendah di gelanggang sepak bola menuju arena lengkingan deru suara mesin. Perusahaan raksasa sekelas Motorola, Vodafone, Linux, Camel, Nike, Adidas sampai jasa asuransi Allians mengajukan diri sebagai salah satu sponsor utama/pendamping tim balap FI, MotoGP, hingga Rally Paris - Dakkar. Mereka tergiur dengan pangsa pasar global yang terbuka lebar. Produsen Dunlop, Bridgestone, Goodyear, GT Radial, Michellin dan merek produk otomotif lain tidak lagi jadi ikon sponsor tunggal.

Biker, racer, crosser, offroader beradu nyali menjadi terdepan. Mereka merayakan selebrasi adrenalin yang memukau ribuan penggemar. Dalam sketsa otomotif, kepopuleran para pembalap adalah berkah terselubung bagi para sponsor. Di balik kehebatan 'The Doctor' Valentino Rossi terpatri ketangguhan tunggangan Camel Yamaha dengan produk diversifikatif seperti Evalube atau di tahun 2005 saat Loris Capirossi jadi kampium bersama Ducati.

Geberan otomotif sederap seirama dengan ekspansi pasar. Potensi market ini sukses diadopsi Malaysia, negeri tetangga Indonesia. Di bidang pariwisata, iklan promosi keindahan alam dan budaya Malaysia paling gencar ditayangkan di CNN dengan slogan, "The Trully of Asia" untuk menarik minat wisatawan manca benua. Namun, ledakan kunjungan turis justru terjadi kala Malaysia sukses membangun Sirkuit Sepang bertaraf internasional untuk ajang MotoGP. Daerah rawa dan terlantar disulap jadi arena sirkuit yang lebar dan mulus, semulus high way alias jalan tol dari Kuala Lumpur ke Sepang. Seri MotoGP XIII, Minggu (10/9) 2006 membuktikan Sepang hanya milik Valentino Rossi.

Di Indonesia, belum ada pembangunan sirkuit bertaraf internasional sementereng sirkuit Sepang. Sirkuit Sentul di Bogor, Jawa Barat belum berbicara banyak di level helatan event otomotif dunia. Kembali keunggulan kompetitif dan standar internasional soal kelayakan jadi patokan utama. Di berbagai daerah pun mulai dibangun berbagai sirkuit dan arena balap karena geliat olah raga mesin ini tidak bisa dikarengkeng dalam laga balap liar pada malam hari di jalanan umum. Di sisi lain, sebuah event organizer tidak takut rugi menggagas motocross, road race atau rally city car karena adanya potensi pasar yang bisa digarap. Produsen rokok dan oli mesin mudah diajak bekerja sama. Sasarannya, jelas pencitraan produk di mata penonton (konsumen).

Taman Otomotif Di Bali Utara

Di Bali sendiri sudah ada kesadaran untuk menjadikan event otomotif sebagai salah satu magnet bagi wisatawan nusantara dan asing. Ada Bukit Pecatu, Unggasan dan kawasan Dream Land, Jimbaran, Nusa Dua yang ditata jadi arena event otomotif. Sayang, proyek besar pembangunan sirkuit bertaraf internasional yang pernah diharapkan praktisi pariwisata Bali gagal terwujud karena investornya miskin ''visi dan misi''.

Siapa sangka di tempat terpencil seperti Desa Lemukih, Sawan, Buleleng, 70 km arah selatan Kota Denpasar, ada sirkuit grasstrack, medan night offroad dan sarana otomotif adventure di sebuah bukit. Secarik realitas yang coba diretas Pak Oles dengan membangun Bukit Hexon seluas 8 hektar menjadi taman otomotif yang berpeluang ditumbuh-kembangkan jadi areal wisata otomotif terpopuler di Bali Utara.

Uniknya, wisata otomotif bukanlah sebuah kemajuan penuh glamoritas semu dan hampa bagi warga sekitar. Di benak Pak Oles, sebagai putra Bali, pembangunan dan hasil-hasil kemajuan pariwisata harus melibatkan dan turut dinikmati warga Bali. Pariwisata Bali adalah pariwisata budaya. Insan praktisi pariwisata Bali setidaknya harus peka dengan pembangunan pariwisata berbasis agri-kultur, ciri utama masyarakat Bali yang menghidupi budaya subak. Kedatangan investor dari luar dan kunjungan selebritis masyhur sekalipun harus memberi kontribusi riil bagi kesejahteraan desa pekraman, misalnya. Jangan timbul kesan, mereka datang menggerogoti lalu pulang bergelimang dollar. Padahal kedatangan mereka disambut hangat tarian Bali dan gemerincing beleganjur. Sapaan luhur nan santun dikoyak sabetan ekspansi liar rezim kapitalistik global.

Lintasan Ekstrim 2,5 Km

Turing perdana ke Bukit Hexon digelar Sabtu, 7 Januari 2006 melibatkan ratusan karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer dari Denpasar maupun Singaraja. Perjalanan menjajal tanjakan terjal di Bukit Hexon langsung dikawal dua petugas kepolisian dari Polsek Busungbiu, Buleleng yakni Aiptu Ketut Kembarnata selaku Kanit Patroli, Bripka Nyoman Nimlea selaku Babin Bengkel, Briptu Made Windu Lantas dan Briptu Widodo dari Unit Patroli. Dengan penuh rasa kagum dan keberanian, 40 sepeda motor dan delapan unit mobil merayap ke puncak bukit yang dibangun jadi taman otomotif (garden track).

Garden track Bukit Hexon memiliki lintasan di pinggang bukit sepanjang 2,5 km yang digarap melalui dua tahap. Tahap pertama, pengerjaan lintasan sepanjang 1,2 km selama 1,5 bulan. Tahap kedua adalah penambahan lintasan garden track sepanjang 1,3 km ke arah selatan dengan kontur ekstrim, penuh tikungan dan kemiringan tajam. Dengan 30 orang tenaga kerja, perpanjangan lintasan plus penyempurnaan rampung dalam waktu 1 bulan. Lintasan ekstrim garden track sudah dijajal beberapa klub otomotif seperti Adrenaline Tracker, Dencross Community dan Tribal Bali dengan pengawalan Team Biotor beranggota tim mekanik bengkel Pak Oles.

Pengembangan dilanjutkan dengan pembangunan fasilitas seperti wantilan. Tercatat 25 tenaga kerja mengawali pembuatan senderan sepanjang 35 m setebal 80 cm. Batu dan pasir dibeli dari warga sekitar seharga Rp 65 ribu per m3 (dengan tinggi 50 cm) dan Rp Rp 2000 per ember. Setiap hari, penjual pasir mengantongi penghasilan Rp 60 ribu.

Proyek Besar Dengan Visi Besar

Pembangunan Bukit Hexon terbagi dalam tiga level. Level pertama, lahan berukuran 35 m x 15 m disiapkan untuk pembangunan kolam, taman bunga dan padang rumput. Level Kedua, lahan berukuran 38 m x 18 m siap dibangun wantilan. Senderan yang telah rampung digarap berada pada level ini. Selain wantilan, juga di level kedua, siap dibangun guest house 4 kamar, sebagai tempat bermalam para pengunjung. Level ketiga, lahan setengah oval 12 m x 15 m dibuat taman. Berbagai jenis tanaman tropis maupun subtropis pastik dan sedang dikembangkan.

Produktivitas bukit cantik itu layak dijadikan ajang pengembangan daerah, ekonomi dan sosial budaya tanpa mengesampingkan keaslian eksistensi kawasan. Menurut Made Ayu Lidyawati (44), Manager Keuangan PT Karya Pak Oles Tokcer, sejauh ini pembangunan Bukit Hexon sudah menelan dana sebesar Rp 1,6 miliar. ''Ini proyek besar, karena visinya juga besar,'' tegas ibu 2 anak lulusan BPLP Nusa Dua yang masih energik ini.

Proyek Bukit Hexon digarap selama 5 tahun dengan anggaran pembangunan ditarget Pak Oles mencapai Rp 10 miliar. Tahap awal, Pak Oles sudah menggelontorkan dana Rp 1,2 miliar untuk pembelian lahan dan pengerjaan jalan menuju Bukit Hexon. Lalu, pembangunan lintasan track 2,5 km dan tempat persembahyangan (pura) menelan biaya Rp 200 juta. Informasi pembangunan dan berbagai event di Bukit Hexon sebagai taman otomotif dan areal agrowisata pun disebar luaskan di berbagai media lokal dan nasional seperti Koran Pak Oles, Tabloid Otomotif Montorku, Bali Post, Radar Bali (Jawa Pos Group), NusaBali, Bali TV, TVRI dan Antara. "Banyak pengusaha yang tidak tahu bermain informasi. Padahal informasi yang disebarkan secara rutin kepada masyarakat akan membentuk citra dan menciptakan pasar. Dan, informasi itu tidak gratis," tegas Pak Oles yang menghabiskan biaya promosi mencapai Rp 200 juta.

Di Bukit Hexon terdapat tiga pelinggih yaitu Surya, Taksu dan Jero Gede. Pelinggih Surya dan Taksu terletak di atas puncak bukit yang dinaungi pohon beringin berusia ratusan tahun. Para pemedek (peserta) harus menyusuri jalan setapak seperti tangga berjarak sekitar 1 km. Dari puncak Bukit Hexon, pengunjung bisa menikmati panorama sebagian besar wilayah Kabupaten Buleleng, indahnya sketsa malam Kota Singaraja dan sekitar kawasan pesisir, juga potret alam di Timur pulau Jawa, Banyuwangi serta sepanjang jalur utara hingga Paiton di Situbondo. Ritual pemlaspasan tiga pelinggih dilaksanakan Jumat, 12 Mei 2006 yang dipuput Mangku Merajan Pasek Bebetin, Gede Kerta. Pemlaspasan pelinggih sebagai bentuk pembersihan lokasi plus pengukuhan linggih (tempat) bertaktanya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Lahan yang dulunya kurang terawat itu kini sudah ditumbuhi jagung, wortel, kentang, paprika dan seledri. Mereka tumbuh bersama dengan pohon blantih, sembung, lengung dan pohon paku lemputu.

Seiring dengan kiprah Pak Oles di bidang otomotif, terbersit harapan tersemainya pilar-pilar industri otomotif yang lahir di desa. Warga daerah sekitar pebukitan nan subur dengan terpaan udara sejuk menebar kesegaran, ibarat gadis perawan yang belajar berdandan. Pola pikir masyarakat pedesaan di era Orba hingga kini berkiblat pada paham proyek alias industri masuk desa. Berbasis moto Membangun Desa Membangun Bangsa, Pak Oles mengusung secuil gagasan ''Gila'' disertai praktek; Industri Dimulai Dari Desa.

Terpaan angin Bukit Hexon seperti terkesiap dalam lagu harapan akan masa depan pembangunan desa yang mulai dirajut sejak kemarin dan hari ini demi menyongsong hari esok. Industri otomotif, --meski sedang menuju-- ada di Bukit Hexon.

Perayaan Monumental HUT IX PT Karya Pak Oles Tokcer

Puncak Bukit Hexon yang lengang, sunyi dan diselimuti udara dingin menjadi saksi bisu helatan akbar ulang tahun ke-9 PT Karya Pak Oles Tokcer dirangkai dengan HUT ke-45 sang pendiri GN Wididana, MAgr alias Pak Oles. Pagi hari, Rabu, 9 Agustus 2006, belasan kendaraan dan puluhan sepeda motor merangkak perlahan menuju Bukit Hexon yang penuh tanjakan dan tikungan ekstrim. Orang tua, remaja dewasa dan muda hingga anak-anak dari Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari tak ketinggalan berarak menapaki jalan bebatuan Bukit Hexon. Di puncak bukit seluas 30 X 10 m, berdiri tenda putih lengkap dengan panggung dan deretan kursi yang ditata apik. Belasan umbul-umbul dan spanduk menghiasi dinding bukit yang telah didesain menjadi ruang pesta di alam terbuka yang anggun, meriah dan semarak.

Selain karyawan/wati, hadir pula Direktur H Agus Urson, Manajer Keuangan Made Ayu Lidyawati, Manajer Produksi H Ruslie Hanafie, para kepala cabang & kepala unit PT Karya Pak Oles Tokcer dan PT Songgolangit Persada se-Indonesia, Kadus Pegadungan I Made Yasa, Kelian Desa Adat Batudinding Nyoman Arcana, Kapolsek Sukasada AKP I.Kt. Budarama, Bhabinkamtibmas Sukasada Briptu I Kt Mucaya, Babinsa Koramil Sukasada dari Kodim 1606 Buleleng Sertu Jose Lopes da Cruz. Kehadiran sekitar seribu peserta patut dicatat sebagai tonggak monumental eksistensi Bukit Hexon sebagai obor citra vitamin oli mesin, produk otomotif Pak Oles & Biotor Techology yang menasional.

Ada Tarik Tambang, Panjat Pinang & Gasstrack

Acara dikemas semarak dengan perlombaan adu kecepatan gas track di lintasan garden track yang membalut Bukit Hexon sepanjang 2,4 km diikuti Team Adrenaline Tracker, Club Tribal Bali dan Team Biotor. Lintasan yang bertepikan jurang menganga justru kian 'memancing' adrenalin para kroser untuk menguji ketangkasan pribadi dan ketangguhan tunggangan spesial engine. Decak kagum dan aroma kengerian di benak penonton bersatu lekat dengan raungan mesin. Sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal. Kepiawaian para kroser menjadi hiburan langka bagi warga sekitar.

Ragam lomba diikuti para karyawan seperti panjat pinang, tarik tambang, lari karung dan lari bakiak kian menyemarakkan suasana pesta. Warga sekitar yang menjuari panjat pinang memperoleh hadiah pacul, sabit, selimut, pakaian dan Ramuan Pak Oles. Usai makan siang, kembali tamu undangan dan para penonton dimanjakan dengan suguhan hiburan lagu dari suara emas artis Bali Ayu Saraswati, AA Raka Sidan dan goyangan dangdut Gek Diah. Ada atraksi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Wushu Unud dan hiburan kreatif sekaligus menggelitik The Komodo's Fashion Group berbusana ala badut.

Acara ditutup dengan penyerahan hadiah untuk para pemenang perlombaan. Sebagai kenangan Pak Oles dan Ketua Asosiasi Perlebahan Indonesia (API) H Wawan Darmawan, SE,MBA menyerahkan uang Rp 1 juta untuk koperasi warga banjar Tempek Lobong. Percetakan PT Antar Suryajaya Surabaya juga menghadiahi Pak Oles Centre dua buah kamera digital. Sore hari, Bukit Hexon kembali sunyi ditemani suara jangkrik dan hembusan angin pegunungan, namun api obor visi dan semangat memajukan perusahaan terus bernyala di lubuk karyawan/wati. Selamat dan sukses meraih target dan menggapai prestasi!!!

V STRATEGI AGROWISATA YANG TERKONSEP

Bahan Baku Industri Ditanam Petani

Sudah saatnya, pembangunan industri terutama industri pertanian berada di desa. Bukankah segala sumber daya yang berhubungan dengan industri pertanian berada di desa? Desa, dengan segala aktifitas dan potensi pertaniannya tetap menjadi aset utama pembangunan industri di seluruh wilayah perkotaan. Bila masyarakat desa sejahtera, maka Indonesia juga akan sejahtera.

Untuk mengembangkan industri pertanian di desa, Pak Oles menggulirkan lima gagasan pokok. Pertama, Konsep Pengembangan. Konsep pengembangan industri pertanian harus lebih banyak menggunakan bahan baku lokal, yang diproduksi petani setempat. Petani dibina agar mampu memproduksi hasil pertanian sehingga hasilnya bisa ditampung oleh industri dengan harga yang telah disepakati, masing-masing mendapatkan keuntungan nyata untuk saling menghidupi antara petani dan pengusaha industri. Industri pertanian hendaknya terletak tidak jauh dari sentra pengembangan bahan baku demi menekan biaya transportasi, mampu menyerap tenaga kerja di pedesaan.

Industri memberikan pendapatan kepada desa berupa pajak desa dan bantuan insentif yang bertepi pada pembangunan desa. Industri mampu meningkatkan investasi Pemerintah Daerah untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa, sekitar lokasi industri. Dengan begitu industri mampu meningkatkan daya beli masyarakat desa karena adanya aktivitas ekonomi dalam bidang jasa dan perdagangan di desa.

Kedua, Teknologi Pengembangan. Industri pertanian dikembangkan berdasarkan teknologi lokal atau nasional (bukan impor), mesin-mesin dirakit dan dimodifikasi secara nasional. Teknologi yang digunakan hendaknya dikembangkan berdasarkan budaya lokal yang dimodifikasi untuk kebutuhan industri modern. Modifikasi teknologi merupakan tugas lembaga penelitian yang dibiayai pemerintah daerah untuk mengembangkan industri pertanian, sehingga efisiensi, kualitas dan kontinyuitas produksi dapat ditingkatkan. Penggunaan teknologi lokal dapat menghasilkan harga jual produk yang dijangkau masyarakat luas, sehingga rakyat terpenuhi kebutuhannya dengan harga yang riil dan industri dapat menghidupi dirinya, karena pangsa pasar mampu membeli dan memberikan keuntungan riil.

Ketiga, Konsep Pemasaran. Pangsa pasar produk industri adalah masyarakat lokal (Indonesia). Potensi penduduk sebanyak 220 juta jiwa merupakan pangsa pasar yang sangat besar dan belum tergarap. Selama ini, justru negara lain yang datang untuk berdagang produk industri pertanian ke Indonesia, karena kita selalu menganggap enteng potensi pasar yang dimiliki. Industri dari hasil pertanian sebagian besar berupa produk makanan dan minuman, yang hasilnya bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia, jika produknya didukung kualitas, jaringan pasar dan informasi yang kuat.

Keempat, Konsep Permodalan. Industri pertanian hendaknya didukung permodalan dari bank dalam negeri, yang uangnya bersumber dari dana masyarakat. Uang yang dipinjamkan secara perlahan akan membesar sesuai kemajuan perusahaan. Untuk mengembangkan industri pertanian tidak diperlukan modal yang besar karena faktor produksi seperti bahan baku, sumber daya manusia. Industri juga harus didirikan dari kecil dan perlahan menuju yang besar. Modal yang dimaksud bukan semata-mata uang yang dibutuhkan dari bank, tapi jauh lebih penting adalah modal kreatifitas, ilmu pengetahuan dan modal keberanian untuk menjalankan usaha. Bila semua modal itu cukup kuat dan saling menopang, jelas memberikan nilai tambah secara terus-menerus kepada produk, dan itulah yang menghasilkan penjualan dan keuntungan bagi sebuah perusahaan.

Kelima, Konsep Pemanfaatan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang digunakan hendaknya direkrut dari SDM lokal (asal Indonesia). Kita bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing-masing mempunyai keahlian (bakat alami) sesuai adat istiadat setempat. Perlu menempatkan SDM pada tempat yang tepat sesuai keahliannya, dan meningkatkan SDM melalui program pendidikan dan pelatihan secara kontinyu. Gunakan sesedikit mungkin atau tidak sama sekali tenaga-tenaga dari luar negeri karena biayanya sangat besar. Kalaupun ada SDM luar negeri, segera diserap ilmu dan pengalaman mereka untuk diajarkan kepada SDM lokal. Dengan cara ini, SDM lokal miliki nilai keahlian yang lebih untuk bekerja di bidang menejerial menengah ke atas.

Pasca Panen Ke Produksi Budidaya Pertanian

Konsep terpadu inilah yang memotivasi pengusaha asal Singaraja itu untuk membangun Bukit Hexon. Menurut pengusaha yang diakrabi Pak Oles, pola pikir industri pertanian bukan berarti harus membangun dalam skala besar, memakai teknologi tinggi dan mahal, alat canggih dan perizinan ketat. Industri pertanian berarti produksi yang kontinyu, harga produk stabil, kualitas terstandar, pemasaran terjamin dan keuntungan jelas. Konsep pembangunan pertanian harus dibalik dari hilir ke hulu, dari industri pasca panen ke produksi budidaya pertanian.

Konsep tersebut akan merubah pola pikir petani dari pemasaran ke produksi. Pasar yang jelas akan memperkuat produksi budidaya. Sebaliknya produksi budidaya tidak menjamin pasar yang baik, dan sebaliknya justru bisa merusak pasar. Membangun industri di desa adalah usaha mendidik dan mengajarkan kepada para petani untuk memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Salah satu nilai tambah, yakni dengan memperluas cakrawala berpikir petani ke arah industri, baik perorangan (industri rumah tangga), kelompok (koperasi) maupun perusahaan. Secara ilmiah, aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian itulah yang lebih dikenal sebagai pengolahan pasca panen, dan dalam bahasa menejemen, menjalankan industri pertanian.

Bercermin pada potensi lahan seluas 8 hektar tersebut, siap dibangun obyek pariwisata berupa areal agrowisata yang terkonsep. Di dalamnya ada areal Garden Track bagi para pecandu dunia otomotif sepanjang 2,5 km. Areal ini membuat nyali para mania otomotif benar-benar diuji. Selain itu, dibangun gedung wantilan sebagai tempat pertemuan, pementasan kesenian dan hiburan, beberapa Villa VIP, Guestroom, tempat meditasi bernuansa alami, tempat berdoa. Untuk mengembangkan industri pertanian, telah dibudidayakan berbagai tanaman dengan penerapan Teknologi Efective Microorganism (EM). Antara lain tanaman perdagangan, obat-obatan, sayur mayur dan buah-buahan seperti strawbery, markisa, asparagus, wortel dan kentang. Semua jenis tanaman tersebut dibangun dalam skala industri.

Pengolahan Produk Turunan

Salah satu potensi yang siap dikembangkan di Bukit Hexon adalah budidaya markisa. Buah tropis itu memang tumbuh liar dan subur di sekitar hutan lindung Alas Gege (selatan Bukit Hexon). Menurut pimpro pembangunan Bukit Hexon, Gede Edi Wiratha, selama ini pemasarannya kurang terorganisir. Buah yang dipanen setiap tiga bulan itu merupakan komoditi unggulan dan siap dipetik warga setempat untuk langsung dijual. Jika musim panen tiba, setiap warga (60 orang) bisa memetik sampai dua karung per hari selama sebulan. Tidak heran jika sekali panen, pendapatan akumulasi mencapai Rp 60 juta.

Komoditi tersebut memiliki produk turunan yang meningkatkan nilai jual. ''Produk olahan seperti dodol, wine, jus dan selai markisa kan bisa dibuat dari buah ini. Kenapa tidak kita manfaatkan SDA dan SDM yang ada untuk mengolahnya. Yang sangat dibutuhkan hanya pelatihan,'' harap suami Luh Devie Verawati ini. Untuk itu, bantuan pemerintah daerah sangat diharapkan untuk proses pendidikan dan pelatihan.

Mewujudkan kesejahteraan rakyat khususnya kaum petani merupakan tujuan akhir pembangunan industri pertanian. Kesejahteraan berarti hidup yang cukup bahkan berlebih, --material dan spiritual. Hal ini sangat dirasakan masyarakat Desa Pegadungan dan Lemukih terutama Dusun Tempek Lobong. Mengapa tidak? Masyarakat terlibat aktif dalam pembangunan Bukit Hexon. Perubahan dapat dilihat dari pembukaan daerah isolasi dengan pembangunan jalan raya selebar 4 meter dan pembangunan proyek air minum.

Semua tenaga kerja berasal dari masyarakat sekitar. Artinya, Pembangunan Bukit Hexon benar-benar dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Inilah ciri utama membangun industri di desa. Sejak pembangunan Bukit Hexon, pendapatan masyarakat jadi lebih baik karena pekerjaan yang sudah terkonsentrasi dan fokus. Sebelumnya, banyak warga yang hanya beternak, penggarap ladang bahkan jadi penjarah hutan dengan penghasilan yang kurang mencukupi kebutuhan harian.

''Sehari saya dibayar 40 ribu sebagai tukang,'' ujar Nyoman Selat, warga Tempek Lobong. Bukan para pria saja. Wanita dan anak-anakpun diberdayakan dengan hanya mengumpulkan batu dan pasir di sekitar areal pembangunan. ''Dalam sehari saya bisa mendapat uang lebih dari 100 ribu, hanya dengan mengumpulkan batu atau pasir,'' ujar I Luh Wining. Bahkan, kini telah dibentuk koperasi konsumsi yang beranggotakan para pekerja dan warga di sekitar Bukit Hexon. Koperasi yang melayani aneka kebutuhan pokok itu diberi nama Wahyu Pertiwi Bukit Hexon

VI STASIUN IKON DI KOTA PENCITRAAN

Bukit Olympus Dan Wahyu Pencipta

Bukit merupakan sebuah tempat yang menjulang tinggi. Hening, sunyi, sepi dan menyimpan sejuta misteri. Bukit kerap jadi tempat yang asing, dijauhi manusia, dan bukit tidak layak menjadi tempat huni. Belum terdengar kisah air mengalir ke atas bukit kecuali ada batu yang menjadi wadah penampung air hujan.

Dalam mitologi Yunani kuno, bukit merupakan tahta para dewa. Bukit Olympus yang mashyur itu menjadi singgasana Dewa Zeus ayah Herakles (Hercules) yang ber-ibu-kan puteri raja Alkmanek. Dalam ratusan legenda tradisional lain maupun kisah keagamaan, bukit sebagai tempat yang menyimpan kisah manusia mendengar suara ilahi, ruang sunyi bagi mereka yang bertapa disirami wahyu Pencipta, tempat manusia menemukan keabadian hidup di balik parade kemegahan kekuasaan, gelimangan materi dan tumpukan dolar.

Di bukit pula, manusia memantapkan arah hidupnya yang baru. Bukit selalu jadi mosaik bisu seputar manusia yang rapuh namun perkasa, tentang nilai-nilai transenden yang turun dari langit, soal nilai-nilai imanen humanis yang tumbuh dari rahim bumi. Bukit adalah simbol kesadaran jati diri. Kerap dari bukit, seorang raja leluasa menatap tanah kerajaannya, termasuk tanah impian.

Jangan lupa, bukit merupakan tempat manusia meregang nyawa dalam keputus-asaan maha hebat. Bukit kerap dijadikan pilihan satu-satunya sebagai benteng menyelamatkan diri dari serangan dan sergapan musuh. Dan pada akhirnya, banyak yang meninggal kelaparan di atas bukit setelah berbulan-bulan dikepung musuh. Itulah realitas bukit. Tak salah bila ada suku tertentu yang beranggapan, bukit adalah tempat kudus. Bukit adalah surga peristirahatan arwah para leluhur.

Manusia Berkarakter Mendaki Bukit

Ahhhh.....bukit, engkau kerap membangkitkan kerinduan anak manusia untuk datang mencari makna kehidupan. Bukit, kenapa engkau terus menggoda manusia. Kenapa hanya manusia yang berkarakter kau tarik kakinya menapak jalan penuh tanjakan? Kenapa manusia-manusia menjadi besar, nabi, raja dan pahlawan setelah turun dari puncakmu? Bukit, seandainya engkau bisa berbicara, pasti yang kau beberkan adalah rahasiamu yang terpendam. Sayang, engkau hanyalah tanah yang menjulang tinggi dalam kesunyian. Manusia akhirnya harus mencari jawaban itu dalam lubuk hatinya.

Momentum Parade Nama Hexon

"Apalah arti sebuah nama," ledek penyair legendaris Inggris, William Shakespeare. Meski Shakespeare mengabaikan makna nama, namun dalam era digitalisasi seperti sekarang, nama adalah sebuah kekuatan, citra, merek dan jati diri. Pemberian nama Bukit Hexon merujuk pada produk HEXON, Vitamin Oli Mesin yang menggemparkan jagat otomotif di Indonesia bahkan belahan dunia lain. Berbagai produk oli mengklaim mengandung zat adiktif namun baru Pak Oles & Biotor Technology yang melahirkan zat adiktif antioksidan dari herbal. Bahan baku berasal dari tumbuhan dan difermentasi dengan teknologi Effective Microorganisms (EM).

"Hexon terbukti menjaga keenceran oli mesin dan menurunkan panas mesin akibat gesekan mesin saat jalan. Itulah reaksi antioksidan yang dikembangkan Pak Oles. Masih ada dua aspek teknologi EM yang bisa dikembangkan yaitu de-ionisasi dan revitalisasi yang kebenarannya sulit diteliti oleh teori ilmiah konvensional," papar Ir Ketut Riksa, Dosen Teknologi EM di Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bengkel, Busungbiu, Buleleng.

Sejak peluncuran HEXON, Vitamin Oli Mesin pada Maret 2005, nama HEXON (Herbal Antioxidant) menjadi buah bibir di kalangan otomotif dan masyarakat pedesaan di Bali. Rakyat pedesaan di enam Kecamatan di Kabupaten Buleleng; Busungbiu, Pupuan, Banjar, Seririt, Gerokgak dan Sukasada dimanjakan dengan alunan lagu dari 92.8 Radio Hexon dari Desa Bengkel. Mata pembaca Koran Pak Oles dan Tabloid Otomotif MONTORKU sudah terbiasa dengan spanduk Hexon Tour, Extrim Tour Bukit Hexon, Turing Hexon dan beragam kata yang selalu digandeng dengan nama vitamin oli mesin itu.

Ada sebuah pertanyaan menggelitik penuh reflektif. Benarkah penggunaan nama Bukit Hexon menjadi keputusan manajerial yang produktif dalam bingkai ekonomi? Apakah berbagai produk dan aktivitas yang dilabeli nama HEXON memiliki momentum tepat untuk digulirkan dalam sketsa pencitraan? Jika tidak tepat, maka berbagai aktivitas berlabel HEXON menyita waktu kerja yang produktif, langkah pemborosan yang tidak efisien dan tentu saja kelelahan fisik. Rangkaian pertanyaan ini merindu jawaban yang merangkum aspek efektivitas, produktivitas plus lonjakan improvisasi atas kepingan realitas.

Bukit Hexon lahir, tumbuh dan menjelma jadi ikon produk otomotif karena dibesarkan dalam rahim kegiatan otomotif. Memang tidak gampang membangun citra plus membentuk sebuah ikon. Rangkaian turing dan kegiatan otomotif di Bukit Hexon bukan lahir dari semangat premature, sekedar gawe yang menguras biaya. Sebaliknya, garden track dan night offroad di Bukit Hexon jadi jalan seorang guru mengajar murid melalui contoh. Suatu terobosan produsen untuk melempangkan jalan bagi konsumen yang di zaman ini lebih cenderung melihat praktek dan hasil di lapangan ketimbang bombastis kata-kata iklan.

Susahnya Menggiring Kucing Ke Pantai

Penggalan realitas adalah sejarah dalam perguliran waktu. Berbagai kegiatan di Bukit Hexon sudah dan akan tetap menjadi penggalan realitas yang selalu dicatat, dicitrakan dan dialbumkan. Dalam perguliran waktu, pemilik kendaraan roda dua, tiga maupun empat ''percaya diri'' menuangkan HEXON dalam dapur oli mesin karena relitas yang menyejarah bersama sang waktu. Dunia otomotif terus berkembang dan HEXON tetap mengiringi perputaran mesin otomotif.

Pembangunan fisik Bukit Hexon sebagai areal penanaman bahan baku pembuatan HEXON terus digenjot agar permintaan konsumen dapat diimbangi. Selain itu, terbentuknya pilar-pilar industri otomotif yang tersemi di daerah terpencil. Masyarakat desa di sekitar Bukit Hexon mendapat peluang untuk mengembangkan tanaman agroindustri. Karena itu, visi pembangunan Bukit Hexon meski masih abstrak tetapi tetap diamini untuk menebar aroma kesejahteraan. Apalagi, kiprah Pak Oles membangun industri Minyak Oles Bokashi dan pabrik EM di Desa Bengkel dengan bahan baku yang diserap dari petani sekitar sudah menjadi penegasan contoh konkrit.

Benarlah kata-kata Richard Miller, mantan wakil presiden General Magic, di Sunnyvale, Calif. ''Mengelola orang-orang berbakat dan kreatif adalah seperti menggiring kucing ke pantai''. Di penggalan jurus promotif ini, agenda besar pembangunan Bukit Hexon adalah penjaga keuntungan. Sebuah ikon lahir dari percikan api energi, efesiensi waktu dan suntikan dana efektif. Bukit Hexon adalah stasiun ikon di kota pencitraan.

Tak ada salahnya, Bukit Hexon didaulat sebagai bukit masa depan. Siap terpancang tugu: VISI memulai karya besar dari tempat terpencil. Dari kesunyian merambah keramaian. Ketersembunyian adalah sebuah kekuatan untuk menjejak langkah di tanah impian. Impian itu... adalah benih harapan, sekelebat mimpi, sejumput asa, seuntai doa dan ledakan kesadaran untuk berkarya menjadi manusia dahsyat... bermental baja. Belajar dan belajar dari pengalaman terberi maupun kesuksesan sesama yang lain.

Bukit Hexon,... bila kami tidak memiliki karakter manusia pahlawan, nabi, pemimpin dan raja, akankah engkau mendepak kami di lembah ketidakmengertian???

Statistik Pengunjung