Senin, 07 Januari 2008

Retas Konsep Pembangunan Antiproposal

Potret kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia nampaknya terus menampilkan panorama yang kian tak berubah dari peluncuran program demi program bermerek dagang kemiskinan. Kian terpuruk wajahnya pasca krisis multidimensi yang melanda Indonesia bahkan sebelum terjadinya krisis ekonomi sejak 1997. Di balik realita-realita kemiskinan yang terkesan terus tercecer, keseriusan pemerintah pun tampak ke permukaan global, masih kalah ngetop untuk meretas realita yang menghimpit setiap anak negeri yang hidup di kolong langit bumi Katulistiwa.

Sebagai sampel, kita semua bisa beranjak dari data hasil rangkuman penelitian dari Kantor Statistik Nasional tahun 1996 dan 1999. Disebutkan, secara matematis, prosentase kelompok yang dianggap miskin kronis, --rumah tangga yang akan dianggap tetap miskin selamanya-- bertambah (bukan berkurang dan berkurang) dari 20% hingga 35%. Proporsi kelompok ini dikategorikan sangat memiliki tingkat kerentanan yang tinggi (high vulnerability) hingga miskin berlipat dari 6,8% menjadi 18,4%. Diperkirakan, total rumah tangga Indonesia yang akan tetap miskin di masa datang dapat melonjak dari 16,4% menjadi 27,2%. Inilah realita, sekalipun masih bisa dipercayai sebagai sebuah penelitian tercecer, tidak menyeluruh atau menasional.

Juga realita lain yang ''meng-ada'' atas nama kemiskinan, justru tak terbilang jumlahnya. Tentu semua kita belum mau merasa bosan-bosan tentang beragam program, bila enggan mengatakan proyek tentang pengentasan kemiskinan. Hampir setiap tahun, tetap saja ada program mementingkan pengentasan kemiskinan di Indonesia, tetapi seakan tidak pernah ditemukan adanya perbedaan mengemas program-program kemiskinan tersebut.

Pembangunan Bukit Hexon dan pemberdayaan potensi warga sekitar di mata Pak Oles bukan karena dirinya selaku pengusaha memiliki cadangan dana investasi. Tetapi visi mengikis kemiskinan dengan program pemberdayaan yang tepat. Secara santun, kapan kemiskinan bisa berlalu dari tanah tumpah darah tercinta ini? Bila belum ada jawaban yang serius dan praktis, maka benar bahwa definisi yang digariskan pemerintah terkait kemiskinan didasarkan pada indikator-indikator realitas kaum-kaum latah yang miskin secara fisik yakni dilihat dari lensa teknokrat dan utilitarian. Karenanya, didefinisikan dengan indikator-indikator yang tidak mencukupi. Buktinya, jenis tembok rumah atau lantai sebagai salah satu indikator dimaksud.

Harus diakui, indikator kemiskinan seperti itu, bisa diperoleh melalui transaksi jual beli di toko, super market, kios-kios bangunan di sekitar kita. Karena semua bahan bisa dibeli. Benarlah pernyataan Pak Oles bahwa petani di Indonesia tetap menjadi mahluk yang sangat lemah daya saingnya, tertindas, terbelakang dan tetap termiskin. Bahkan anak-anak petani tidak sudi lagi menjadi petani karena masa depan yang suram, kotor dan miskin.

Di lain pihak, para pejabat dan pengambil keputusan, masih menganggap dirinya sebagai dewa penyelamat petani. Mereka mencoba selamatkan nasib petani melalui bantuan dan proyek, untuk meningkatkan taraf hidup petani. Bantuan dan proyek terus mengalir setiap tahun atas nama petani dan kesejahteraan, tetapi petani tetap saja miskin. Sebaliknya pejabat dan konsultannya semakin makmur.

Tentu proyek itu tidak ingin diselesaikan segera. Artinya, KEMISKINAN petani dapat dijual dengan harga tinggi, MENJADI PROYEK-PROYEK bahkan proyek TAK BERKESUDAHAN per tahun anggaran. Ada semacam program pembudayaan kemiskinan. Kini impian Pak Oles, pembangunan Bukit Hexon sebagai areal agrowisata dan garden track untuk wisata otomotif berdampak langsung bagi peningkatan pendapatan warga dan mengepulnya asap dapur di sela-sela pucuk pepohonan Bukit Hexon.

Tidak ada komentar:

Statistik Pengunjung